(Kursi Goyang/Google)
Depok — Beberapa menit setelah memejamkan mata, tulisan ini akhirnya dibuat. Butuh sedikit waktu merefleksikan kepala untuk mengingat memori masa lalu. Tentang sebuah benda. Yang mendadak terkenang. Hasil obrolan dengan seorang kawan, di suatu sore, di sebuah tepian indah. Membahas tentang kursi goyang.
Bahasan sepele, tapi menggugah rasa. Menguapkan kenangan, yang lama bersemayam, di dalam memori otak. Sudah cukup kata-kata melownya. Mari langsung to the point ke pokok pembahasan.
***
Saya ingat, saat kecil keluarga kami memiliki sebuah kursi goyang. Warnanya cokelat, dengan kelir pahatan di beberapa sisinya. Biasanya, sepulang kerja dari kantor di Lapangan Banteng, Jakarta, papa meluangkan waktu duduk di atasnya, sambil menggoyangkan ke depan dan belakang.
Ada sensasi tersendiri yang terlihat dari rawut muka papa waktu duduk di kursi goyang: damai dan tenang. Bahkan tidak jarang beliau tertidur setelah duduk berlama-lama di kursi goyang.
Terkesan sederhana, tapi itulah kemewahan, bisa meluangkan waktu untuk santai sejenak duduk di kursi goyang.
Menurut kawan saya, kursi goyang adalah lambang aliansi manusia dengan kenangan masa kecilnya. Bagaimana saat bayi, ibu menimang-nimang kita, digoyang ke kanan dan kiri, untuk meredakan tangisan: tanda kegelisahan seorang bayi.
Pun ketika dewasa, saat menghadapi masalah hidup, secara lahiriah manusia sebenarnya juga butuh ditimang-timang, agar pikiran menjadi tenang. Tapi apa daya, seorang ibu semakin tua, tulangnya mulai ringkih, tak sanggup lagi menggendong sang anak. Hanya bisa memberikan saran, beriring do’a. Selain itu, sudah tentu manusia dewasa juga berpikir: malu, minta ditimang-timang sang ibu. Dari situ “mungkin” tercetus ide pembuatan kursi goyang.
Tapi kini, kursi goyang sudah jarang ditemui di rumah-rumah. Padahal, keberadaannya cukup penting di tengah hiruk pikuk kesibukan manusia yang semakin commuter: untuk meredakan stres setelah seharian bekerja. Daripada membuka smartphone dan terperdaya tipu daya berita hoax yang membuat pikiran semakin kalap.
Kursi goyang… Oh kursi goyang… Beruntungnya aku saat kecil dulu, sempat merasakan sensasimu, duduk di atas pangkuan seorang ayah yang menggoyangkan kursi goyang, sambil membacakan sebuah dongeng hingga aku tertidur pulas.
Kursi goyang… Oh kursi goyang…
Suatu saat nanti, bila berjodoh, aku ingin kamu kembali ada di rumahku, menemani aku dan keluargaku kelak.
Kursi goyang… Oh kursi goyang. Itulah kamu, hasil obrolan ringan yang tiba-tiba membuka kenangan.
Salam,
Bobby Afif