Berandai-andai

Kamu tau apa yang ada di balik masa depan?

Pasti jawabannya tidak.

Tapi Tuhan memberi kita hati dan pikiran untuk membayangkan serta memvisualisasikan tentang kita di waktu yang akan datang: dalam ruang visual yang semu.

Sejenak merenung… Aku dalam ruang-ruang khayal. Melakukan metamorfosis, dari masa ini ke masa depan. Belajar membentuk diorama mimpi menjadi nyata, dengan getaran positif.

Gambaran abstrak yang coba disusun dalam satu rangkaian: untuk satu fase nyata dalam realita yang kita sendiri belum tau terjadi atau tidak di waktu yang akan datang.

Bagaimanapun kita “manusia” (makhluk-Nya) hanya bisa berencana, namun sekali lagi, Tuhan yang menentukan.

Siap tidak siap, kita harus siap. Sisipkan dalam setiap doa “minta dikuatkan”. Dari setiap ketetapan-Nya yang masih misteri.

Tetap semangat dan positif menjalani realita dengan sebaik-baiknya. Tapi jangan terlalu over confidence.

Berandai-andai.

Depok, 21 Mei 2022

Menghela Napas

Warna mulai berbeda. Perubahan perlu dikaji kembali. Karena pada dasarnya manusia tempat salah dan khilaf. Kadang sulit membedakan mana baik, mana benar. Atau malah terjerumus ke jurang abu-abu. Ini yang dikhawatirkan. Tidak mudah membedakan keduanya bila berada di tengah-tengah.

Bila putih itu suci, apa mungkin kita bisa penuh dalam warna itu? Jawabannya ada di dalam diri sendiri. Tetapi, kita pasti ingin terus berusaha menghilangkan noda hitam, meski hanya setitik saja. Bagaimana caranya? Mengakui kesalahan. Memohon ampun dan berikhtiar menanggalkan keburukan.

Mari sama-sama kita menghela nafas. Seraya bermunajat dan memohon ampun atas gelap yang pernah menyelimuti diri kepada Sang Illahi Rabbi.

 

Depok, 14 April 2020

Kursi Goyang

263108248_9ae46fe3-aaca-4d22-b6a1-a421da279daa_960_1280(Kursi Goyang/Google)

Depok — Beberapa menit setelah memejamkan mata, tulisan ini akhirnya dibuat. Butuh sedikit waktu merefleksikan kepala untuk mengingat memori masa lalu. Tentang sebuah benda. Yang mendadak terkenang. Hasil obrolan dengan seorang kawan, di suatu sore, di sebuah tepian indah. Membahas tentang kursi goyang.

Bahasan sepele, tapi menggugah rasa. Menguapkan kenangan, yang lama bersemayam, di dalam memori otak. Sudah cukup kata-kata melownya. Mari langsung to the point ke pokok pembahasan.

***

Saya ingat, saat kecil keluarga kami memiliki sebuah kursi goyang. Warnanya cokelat, dengan kelir pahatan di beberapa sisinya. Biasanya, sepulang kerja dari kantor di Lapangan Banteng, Jakarta, papa meluangkan waktu duduk di atasnya, sambil menggoyangkan ke depan dan belakang.

Ada sensasi tersendiri yang terlihat dari rawut muka papa waktu duduk di kursi goyang: damai dan tenang. Bahkan tidak jarang beliau tertidur setelah duduk berlama-lama di kursi goyang.

Terkesan sederhana, tapi itulah kemewahan, bisa meluangkan waktu untuk santai sejenak duduk di kursi goyang.

Menurut kawan saya, kursi goyang adalah lambang aliansi manusia dengan kenangan masa kecilnya. Bagaimana saat bayi, ibu menimang-nimang kita, digoyang ke kanan dan kiri, untuk meredakan tangisan: tanda kegelisahan seorang bayi.

Pun ketika dewasa, saat menghadapi masalah hidup, secara lahiriah manusia sebenarnya juga butuh ditimang-timang, agar pikiran menjadi tenang. Tapi apa daya, seorang ibu semakin tua, tulangnya mulai ringkih, tak sanggup lagi menggendong sang anak. Hanya bisa memberikan saran, beriring do’a. Selain itu, sudah tentu manusia dewasa juga berpikir: malu, minta ditimang-timang sang ibu. Dari situ “mungkin” tercetus ide pembuatan kursi goyang.

Tapi kini, kursi goyang sudah jarang ditemui di rumah-rumah. Padahal, keberadaannya cukup penting di tengah hiruk pikuk kesibukan manusia yang semakin commuter: untuk meredakan stres setelah seharian bekerja. Daripada membuka smartphone dan terperdaya tipu daya berita hoax yang membuat pikiran semakin kalap.

Kursi goyang… Oh kursi goyang… Beruntungnya aku saat kecil dulu, sempat merasakan sensasimu, duduk di atas pangkuan seorang ayah yang menggoyangkan kursi goyang, sambil membacakan sebuah dongeng hingga aku tertidur pulas.

Kursi goyang… Oh kursi goyang…
Suatu saat nanti, bila berjodoh, aku ingin kamu kembali ada di rumahku, menemani aku dan keluargaku kelak.

Kursi goyang… Oh kursi goyang. Itulah kamu, hasil obrolan ringan yang tiba-tiba membuka kenangan.

Salam,
Bobby Afif

Komunitas Penjaga Eksistensi Kota

IMG_20190213_125145_551

Depok – Komunitas dan kota dua hal yang tidak dapat terpisahkan di samping hal-hal penting lainnya: Kelestarian lingkungan, keseimbangan pembangunan, ketersediaan lapangan kerja, sumber daya alam, dll.

Ereksi pembangunan yang membabi buta jangan hanya untuk mengakomodir kepentingan investor sehingga melupakan pengembangan komunitas sebagai tulang punggung eksistensi kota. Kenapa? Karena dalam komunitas ada semangat serta keinginan menjaga dan mengangkat wibawa, harkat dan martabat sebuah kota.

Misal, dalam sebuah komunitas enterpreneur terdapat 20 anggota. Per anggota memiliki 2 karyawan dan per karyawan memiliki 3 anggota keluarga yang dihidupi. Dari situ minimal ada 40 lapangan kerja terbuka, 100 orang bisa mendapat ekonomi lebih baik. Impact lainnya meminimalisir kejahatan jalanan karena faktor ekonomi.

Bukan hanya komunitas yang bergerak di wirausaha, komunitas lain di luar itu, misal: hobi, lingkungan, profesi hingga komunitas diskusi juga jangan dipandang remeh sebelah mata. Mereka juga memiliki dampak penting untuk kemajuan kota.

Mari kembali bermisal-misal ria dengan contoh kasus lainnya. Bila pemerintah memberikan dukungan kepada komunitas pecinta olahraga berupa fasilitas dan pembinaan berkelanjutan, bukan tidak mungkin akan lahir atlet-alet baru yang akan mengharumkan nama kota, bahkan kepala daerahnya. Selain itu, bisa menjadi pengalih hal negatif di kalangan anak muda ke arah yang lebih positif.

Lainnya, kenakalan-kenakalan remaja, seperti free sex, narkoba, tawuran bisa diminimalisir, tentu juga dibarengi penanaman nilai-nilai spiritual, yang bukan sekedar seremoni beragama, tapi juga diajarkan untuk diaplikasi langsung di tengah masyarakat. Bila terwujud insya Allah akan hadir generasi yang bukan hanya shaleh individu tapi juga shaleh sosial. Kota bukan cuma maju pembangunannya, tapi juga baik warganya.

Karena itu… Jangan sepelekan komunitas. Jangan hanya membangun dari perspektif satu arah (pemerintah).

Buka ruang-ruang dialog dan kolaborasi dengan komunitas. Tentu juga dengan entitas masyarakat lainnya: ormas, LSM dan forum-forum warga.

Kota milik bersama. Mari istiqamah membangun dengan semangat kolaborasi. Insya Allah terwujud kota yang RAHMATAN LIL ALAMIN.

Salam,
Bobby Afif
Gerakan Muda Depok

Menepi Sejenak

images.jpg

Menepi di tengah hiruk-pikuk. Bukan tidak berani menantang keramaian. Senja itu, yang membuatku menepi. Diam sejenak. Beberapa detik, menit, atau mungkin jam.

Kegilaan yang ramai ini mesti diredakan. Agar tidak ikut-ikutan gila. Gila kuasa, harta, cinta, kerja, atau apalah. Makanya kita butuh menepi.

Diam … diam … jangan banyak bicara. Aku sedang menepi. Di tepi, bebersih hati, pikiran, agar terhindar dari penyakit gila. Akibat iri, dengki, mungkin juga dendam.

Sudah, diam! Aku tak mau ikutan gila. Biarlah aku (Hati dan seluruh anggota badan) menepi sejenak agar tidak ikut gila seperti kalian.